“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu
benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal shalih dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan
nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.”
(QS Al ‘Ashr [103]: 1-3)
S3REAL - Surat Al-‘Ashr yang sangat singkat ini memuat suatu hal yang
amat besar. Tiga ayat pendek tersebut mendeskripsikan sistem yang integral dan
universal bagi kehidupan umat manusia sebagaimana yang diinginkan oleh Islam.
Sekaligus, menawarkan empat pilar kebahagiaan duniawi dan ukhrawi bagi
individu dan keluarga, dalam kalimat-kalimat singkat yang mudah dimengerti.
Ayat-ayatnya memang singkat, namun begitu mendalam dan luas
kandungannya. Sampai-sampai Imam Asy Syafi’i rahimahullah pernah
berkata, “Seandainya manusia benar-benar
mentadabburi surat ini, niscaya cukuplah ia menjamin kebahagiaan mereka”
(Tafsir Ibnu Katsir IV/582). Dalam riwayat lain beliau berkata, “Seandainya
tidak diturunkan surat lain selain surat Al ‘Ashr ini, niscaya cukup bagi
manusia” (Tafsir Ruuhu’l Ma’aani XXX/227).
Dalam kajian Sayyid Quthb rahimahullah, surat
yang termasuk golongan surat makkiyah ini memberi pemahaman kepada kita
bahwa sepanjang sejarah umat manusia di mana dan kapan saja hanya ada satu
sistem (manhaj) yang menguntungkan dan membahagiakan, yang memberikan
kemenangan dan keselamatan. Yaitu sistem yang batasan-batasan dan
rambu-rambunya digambarkan secara jelas dalam surat ini. Berarti, sistem selain
ini akan menjerumuskan ke dalam kehancuran, kesengsaraan dan kerugiaan pada
semua aspek kehidupan di dunia dan di akhirat (Fii Zhilal Al-Qur’an
VI/3964), tak terkecuali aspek rumah tangga.
Keempat pilar kebahagiaan rumah tangga yang ditawarkan Allah
lewat surat Al-'Ashr adalah :
1.
Iman
Iman
adalah mutiara yang menambah bobot nilai dan harga serta meninggikan derajat
seseorang dan keluarga di sisi Allah swt.
Sebesar
apa pun kekayaan seseorang, setinggi apa pun jabatan seseorang dalam suatu
institusi/pemerintahan, sehebat apa pun kejeniusan seseorang bila tanpa iman,
maka di sisi Allah ia sama sekali tidak bernilai meskipun seluruh dunia
mengagumi dan mengagungkannya.
“ Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di
sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu “
(QS Al Hujuraat
[49]: 13)
Maka,
rumah tangga terbaik dalam perspektif Al-Qur'an adalah rumah tangga yang
dibangun atas dasar iman. Rumah tangga yang senantiasa menghadirkan suasana dan
nuansa keimanan dalam seluruh aktivitasnya.
Dan
Allah hanya akan menganugerahkan kehidupan yang bahagia kepada hamba-hamba-Nya
yang mendasari seluruh amal dan kegiatannya dengan iman, sebagaimana
ditegaskan dalam firman-Nya ;
“Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki
maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan
kepadanya kehidupan yang baik (bahagia) dan sesungguhnya akan Kami beri balasan
kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka
kerjakan”
(QS An-Nahl [16]: 97).
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah
Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka
mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan
perbuatannya
(QS Al-A’raaf [7]: 96)
Tentu
saja, keimanan yang kita maksud di sini bukanlah keimanan yang parsial, sebatas
di bibir saja seperti keimanan ala orang munafik
Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah
dan Hari kemudian," pada hal mereka itu sesungguhnya
bukan orang-orang yang beriman.
( QS Al-Baqarah [2]: 8 )
Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: "Kami
mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah." Dan Allah
mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui
bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta[1] Mereka itu menjadikan sumpah mereka
sebagai perisai[1476], lalu mereka menghalangi (manusia) dari
jalan Allah. Sesungguhnya amat buruklah apa yang telah mereka kerjakan[2] Yang demikian itu adalah karena
bahwa sesungguhnya mereka telah beriman, kemudian menjadi kafir (lagi) lalu
hati mereka dikunci mati; karena itu mereka tidak dapat mengerti.[3]
(QS Al-Munaafiquun [63]: 1-3)
[1476]. Mereka bersumpah bahwa mereka beriman adalah untuk
menjaga harta mereka supaya jangan dibunuh atau ditawan atau dirampas hartanya.
Atau keimanan sekadar keyakinan dalam
hati sebagaimana dinyatakan Iblis yang telah meyakini Allah sebagai sang
Pencipta (Lihat QS Shaad [38]: 76). Melainkan keimanan yang utuh dan menyeluruh
dengan segala dimensinya, sehingga mampu menghadirkan kekuatan hubungan dengan
Allah di mana, kapan saja dan dalam kondisi apa pun.
2.
Amal shalih
Keimanan
yang sejati berbuah amal shalih. Amal shalih bisa berbentuk ibadah mahdhah dan
ghairu mahdhah. Karenanya, ulama tafsir mengartikan amal shalih yaitu melaksanakan
semua kewajiban yang diperintah syariat (agama) dan meninggalkan semua bentuk
maksiat serta melakukan berbagai macam kebajikan (At Tafsir Al Munir,
Az Zuhaili XXX/395).
Maka,
beragam aktivitas keluarga yang diniatkan untuk mendekatkan diri dengan anggota
keluarga karena Allah, maka aktivitas itu termasuk amal shalih. Rekreasi,
silaturrahim, olah raga keluarga, dan lain-lain, semuanya bisa masuk dalam
kategori amal shalih jika dapat meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan
kepada Allah.
3.
Proaktif mendakwahkan Islam (At Tawaashi bil Haq)
Kedua
pilar di atas (iman dan amal shalih) hanya mengantarkan kepada shalih untuk
diri sendiri (Shaalihun Li Nafsihi) yang pada gilirannya tidak menjamin
kebahagiaan di dunia dan akhirat. Sebab, Allah tidak menciptakan hanya seorang manusia, melainkan
komunitas manusia yang terdiri dari laki-laki dan perempuan dan menjadikan
mereka berbangsa-bangsa dan bersuku-suku (QS Al-Hujuraat [49]: 13).
Karena
itu kesempurnaan seorang Muslim dan kebahagiaannya sangat tergantung sejauh mana
ia mampu menularkan keshalihan individual menjadi keshalihan sosial. Shalat
kita misalnya, baru akan sempurna manakala shalat ini mampu membuahkan dampak
sosial yang positif bagi kehidupan kita (baca: Naafi’un Lighairihi,
bermanfaat bagi orang lain). Dalam bahasa Al-Qur’an
Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran)
dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-
perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah
lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui
apa yang kamu kerjakan
(QS Al-‘Ankabuut [29]: 45).
Untuk
itulah Rasulullah saw menegaskan dalam haditsnya, bahwa manusia yang terbaik di jagat raya ini adalah yang bermanfaat untuk
orang lain (Khairunnaas anfa’uhum linnaas).
Beliau
saw juga pernah ditanya, “Islam apa yang
terbaik?” Beliau menjawab, “Yaitu orang Islam yang orang lain selamat (aman)
dari (gangguan) lisan dan tangannya” (HR Bukhari).
Maka,
membudayakan saling menasihati dalam rumah tangga adalah pilar kebahagiaan
suatu keluarga. Sebab, membiarkan keburukan, kemaksiatan dan pelanggaran
terhadap ajaran Islam merajalela dalam rumah tangga kita, maka berarti sama
saja kita membiarkan munculnya banyak lubang dalam 'kapal'. Akhirnya, cepat
atau lambat akan menenggelamkan kita dan seluruh anggota keluarga besar kita.
Karenanya, proaktif mendakwahkan atau menularkan kebaikan kepada sesama anggota
keluarga akan mengantarkan keluarga kepada kebahagiaan di dunia dan
akhirat.
4.
Sabar
Mempraktikkan
ketiga pilar di atas dalam kehidupan rumah tangga bukan perkara yang mudah.
Pasti, dan tidak bisa tidak, akan menghadapi berbagai macam ujian dan cobaan
yang bisa datang dalam berbagai bentuk. Bahkan terkadang pertentangan dan
perlawanan sengit justru muncul dari keluarga. Bukankah Nabi Muhammad ketika
mendakwahkan Islam dan menyebarkan kebaikan, juga dihadang dan dihalang-halangi
Abu Lahab, yang nota bene adalah paman beliau saw.
Tribulasi
dalam mewujudkan iman, amal shalih dan dakwah adalah sebuah keniscayaan karena
ia sunnatullah dalam ber-Islam.
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja)
mengatakan: ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan
sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka
sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia
mengetahui orang-orang yang dusta”
(QS Al ‘Ankabuut [29]: 2-3)
Mengharapkan
kebahagiaan rumah tangga tanpa kesabaran, sama saja mengharapkan hadirnya gagak
putih. Mustahil. Wallaahu A’lam.
Menegakkan Pilar dengan Berjamaah
Hal yang menarik, keempat pilar tersebut diredaksikan oleh Allah dalam bentuk jama’.
Ini memberikan pemahaman pentingnya persamaan dan kebersamaan (berjama'ah)
dalam meraih kebahagiaan dan membebaskan dari kerugian dan kekalahan. Termasuk
di sini, persamaan visi dan misi semua anggota keluarga dan kebersamaan dalam
menerapkannya
Inilah barangkali rahasianya, mengapa para sahabat jika
bertemu dengan kawannya, mereka tidak berpisah hingga salah seorang di antara
mereka membacakan surat Al ‘Ashr ini kepada kawannya, kemudian mereka
mengucapkan salam (HR Ath Thabrani dari Ubaidillah bin Hafsh seperti dalam At
Tafsir Al Munir XXX/391).
Tuk’e Elmu : Ummi Maosaji