Sabtu, Desember 29, 2012

Indahnya Sabar


Sang Nabi kekasih Allah itu termenung. Betapa berat perintah Sang Khalik.
Bagaimana mungkin ia yang dulu meninggalkan bayinya di padang tandus dan terpisah berbilang tahun, kini harus menyampaikan berita pilu lagi, yaitu menyembelih anaknya tersebut
Namun Ibrahim as tetap menyampaikan perintah Allah kepada anaknya, Ismail as.
... (Ibrahim) berkata, ‘Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu.' Dia (Ismail) menjawab:  'Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan Allah kepadamu. Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar,'

(QS As-Shaffat [37]: 102).

Saudaraku…!! kisah dalam surat As-Shaffat tersebut, sungguh memiliki hikmah luar biasa. Lihatlah bagaimana seorang ayah yang shalih memiliki hati yang begitu kuat terhubung dengan Allah swt. Ketundukan ini melahirkan kesadaran bahwa apa pun yang ia miliki dan ia cintai sesungguhnya hanya titipan Allah swt. Sikap itu melahirkan kesadaran bahwa semua milik Allah sehingga menjelma menjadi sifat sabar seorang Ibrahim.
Dengan sifat sabarnya, Ibrahim mampu mengkomunikasikan perintah Allah yang begitu berat kepada anaknya. Dan hati yang lembut itu mengalirkan kesabaran kepada sang anak yang memberikan jawaban indah kepada ayahnya “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan Allah kepadamu. Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” 
Subhanallah, sebuah jawaban yang mencerminkan karakter dan ihtirom anak yang luar biasa. Ia memulai jawabannya dengan kata-kata lembut “Wahai ayahku”. Jawaban yang mencerminkan penghormatan yang sempurna dari seorang anak kepada orangtuanya.
Ismail juga memberikan cermin kepada kita bagaimana seorang anak mendapatkan pendidikan pertama dengan pendidikan akidah “Lakukanlah apa yang diperintahkan Allah kepadamu”. Tak akan ada jawaban seperti ini dari seorang anak yang tidak mengenal tauhid. Tauhid inilah yang menjadi fondasi bagi Ismail untuk memiliki akhlak terpuji lainnya, yaitu rendah hati dan santun.
Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. Ia tak mengklaim dirinya anak yang sabar, melainkan dengan seizin Allah swt. Ia pun tak mengklaim dirinya orang yang paling sabar karena nyatanya ia mengatakan “Aku termasuk orang-orang yang sabar”.
Saudaraku, kesabaran yang dimiliki Ibrahim dan Ismail adalah kesabaran fenomenal. Tidak mengherankan bila Allah mengabadikan ketaatan mereka dengan adanya syariat qurban. Qurban yang dilakukan setiap tahun menjadi pengingat bagi kita akan pelajaran kesabaran dari Ibrahim dan Ismail as. Pelajaran kesabaran yang tak berujung, membutuhkan banyak pengorbanan, dan tiada henti dalam berbagai situasi. Maka, kita perlu mengetahui, para ulama mengklasifikasikan sabar menjadi:
Sabar dalam melakukan ketaatan kepada Allah. Sabar dalam menjauhi maksiat kepada Allah. Sabar dalam menghadapi  ujian dan cobaan dari Allah.
Semoga kita mampu untuk senantiasa bersabar dan menjadi bagian orang-orang yang sabar. Amin. 
Tuk’e Elmu : Ummi Maosaji

Baiti Jannati, Rumahku adalah Surgaku

"Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga 'Adn dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar."
(QS At Taubah [9]: 72)

S3REAL - Karena perbedaan visi dan persepsi tentang arti kebahagiaan, masing-masing keluarga menggunakan cara dan dan jalan yang berbeda dalam menggapai kebahagiaan masing-masing. Sebagian keluarga menilai kebahagiaan dengan prestasi-prestasi akademik. Maka, setiap keluarga dipacu untuk semangat belajar dalam rangka mencapai cita-cita akademiknya. Sehingga berbagai macam gelar bertengger pada nama-nama anggota keluarga ini.
Sementara keluarga yang lain menganggap melimpahnya harta dan kekayaan  dapat mengantarkan kepada puncak kebahagiaan. Maka, seluruh anggota keluarga itu pun terinspirasi untuk merengkuh berbagai pernak-pernik dunia seperti mobil mewah, rumah bak istana dan tampilan ala selebritis.
Sebagian lagi, memandang jabatan dan kedudukan sebagai tolok ukur kebahagiaan. Hidupnya terkuras hanya untuk meraih jabatan. Bahkan, tidak sedikit yang menghalalkan segala cara demi meraih kedudukan dan jabatan itu.
Lalu, apa sih makna kebahagiaan keluarga yang sesungguhnya? Ayat di atas memberikan pemahaman, bahwa kebahagiaan yang hakiki dan "keberuntungan yang besar" adalah ketika kita dapat meraih surga di akhirat nanti. Hal ini menuntut kita untuk mampu menjadikan seluruh lingkungan kita, termasuk rumah kita menjadi taman-taman surga duniawi yang mampu menghantarkan semua keluarga kita menuju taman-taman surga ukhrawi.
Agar terwujud Baiti Jannati
Mengacu dari ayat di atas dan dalil-dalil lain, ada beberapa tips agar kita bisa merealisasikan Baiti Jannati, di antaranya :
      1.      Mengenalkan Allah swt kepada penghuni rumah
Hal ini dilakukan dengan menerapkan Tarbiyah Imaniyah (Pendidikan Keimanan) kepada seluruh anggota keluarga sejak dini secara terpadu dan kontinyu sehingga mereka manjadi pribadi-pribadi yang bertakwa yang akan mewarisi surga.
“ Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa”
( QS Ali Imran [3]: 133 )
Dan seluruh aktivitas orang yang bertakwa bernilai ibadah dan berpahala, maka, dampak dari ketakwaan pun akan memancar dalam kehidupan keluarga. Pancaran sinar keimanan ayah, ibu dan anak-anaknya memantul di seluruh lorong-lorong rumah sehingga terciptalah ketenangan dan ketenteraman jiwa, kenyamanan, keakraban, kedamaian dan keharmonisan hubungan antaranggota keluarga. Bukankah rumah dengan situasi dan kondisi semacam itu seperti surga dunia…?
Namun, suasana surgawi di rumah seperti itu hanya akan terwujud manakala para penghuni rumahnya mengenal Allah swt dengan sangat baik. Di sinilah barangkali rahasianya, mengapa ayat di atas diawali dengan "Wa'adallah..." (Allah menjanjikan...). Jika ingin meraih surga (baca: kebahagiaan) di dunia dan akhirat, maka harus dekat dengan Yang Menjanjikan dan Menciptakan surga, yaitu Allah. Dan yang diberi janji pun bukan sembarang manusia, melainkan hanyalah orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan. Tanpa iman, harapan menggapai surga duniawi dan ukhrawi hanyalah tinggal harapan, dan tidak akan pernah menjadi kenyataan.
      2.      Menciptakan Raudhah min Riyadhul Jannah di rumah
Caranya dengan menghidupkan rumah dengan pengajian-pengajian, baik khusus keluarga maupun umum, dan halaqah-halaqah dzikir (majelis-majelis untuk meningkatkan intensitas dzikir kepada Allah).
Memakmurkan rumah dengan lantunan ayat-ayat Al Qur'an supaya tidak seperti kuburan sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah saw,

"Jangan kalian jadikan rumah kalian seperti kuburan. Sesungguhnya syetan lari dari rumah yang dibacakan di dalamnya surat Al Baqarah"
(HR Muslim no. 1300)

Sesungguhnya kondisi seperti inilah yang disinyalir oleh Rasulullah sebagai Raudhah min Riyadhul Jannah (taman dari taman-taman surga).

Beliau saw bersabda, " Jika kalian melewati Riyadhul Jannah (taman-taman surga), maka bergabunglah!" Para sahabat bertanya, "Apa itu Riyadhul Jannah?" Nabi menjawab, "Halaqah-halaqah dzikir "
(HR At Tirmidzi no. 3432)
 
      3.      Mengenalkan surga kepada keluarga
Termasuk menghadirkan surga di rumah adalah dengan mengenalkan surga kepada keluarga. Mulai dari sifat surga dan kenikmatan pemandangannya yang belum pernah mata melihatnya, belum pernah telinga mendengarnya, dan belum pernah tergerak di hati.
Pintu-pintunya yang berjumlah delapan (lihat: HR An Nasaa'i no. 148), salah satunya bernama Ar Rayyaan yang khusus diperuntukkan bagi orang-orang yang rajin berpuasa.
Derajat surga, sungai-sungainya, anginnya, cahayanya, istana-istananya, pohon dan buahnya. Amalan-amalan yang diganjar surga, tabiat dan karakter jalan surga yang tidak bertaburan dengan bunga-bunga, melainkan penuh dengan kerikil dan duri. Makanan, minuman dan pakaian penduduk surga, dan khadam (pelayan) mereka. Bagi mereka kemah yang terbuat dari mutiara berlobang seluas 60 mil sehingga seorang mukmin mengelilingi keluarganya hingga seorang dengan lainnya tidak dapat saling melihat sebab jauh dan luasnya (HR Bukhari IX/479 no. 2838). Dan berbagai kenikmatan lain yang tiada terbilang dan tak ada yang menandinginya (lihat secara lengkap dalam Al Jannah wa'n Naar (Surga dan Neraka), DR Umar Sulaiman Al Asyqar, hal. 115-267).
Ayat di atas menerangkan sebagian kecil dari kenikmatan tersebut, yaitu "surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga 'Adn...."
Bahkan, di atas semua kenikmatan itu, masih ada yang lebih besar dan lebih agung, yaitu keridhaan Allah swt sebagaimana dikatakan oleh Imam Malik rahimahullah (lihat Tafsir Ibnu Katsir III/38-39).

Dari Abu Sa'id Al Khudry ra berkata: bahwasanya Rasulullah  pernah bersabda, "Sesungguhnya Allah Ta'ala berfirman kepada penghuni surga: " Wahai penghuni surga " Mereka menjawab : " Baik, kami penuhi panggilan-Mu wahai Rabb kami dan semua kebaikan ada di kedua tangan-Mu ” Lalu Allah bertanya, "Ridhakah kalian..?" Mereka menjawab: " Mengapa kami tidak ridha, padahal Engkau telah memberi kami apa saja yang tidak Engkau berikan kepada makhluk lain " Allah lalu berfirman, " Maukah Aku beri kalian yang melebihi semua itu…?" Mereka menjawab, " Ya Rabb, apa sesuatu yang lebih baik dari semua itu…?" Allah menjawab, " Aku halalkan untuk kalian ridha-Ku, maka Aku tidak akan murka terhadap kalian setelah ini selama-lamanya"

(HR Bukhari XI/363-364 dan Muslim no. 2829)

Dan puncak dari semua kenikmatan di surga adalah melihat Allah Yang Maha Mulia. Dan tidak ada anugerah yang paling disukai oleh penghuni surga selain melihat Rabbnya Yang Maha  Berkah dan Tinggi (lihat HR Muslim no. 181).
Ibnul Atsir rahimahullah mengatakan, Rukyatullah” (melihat Allah) adalah puncak kenikmatan akhirat dan derajat/tingkatan yang paling tinggi dari semua pemberian Allah yang istimewa..." (Jaami'ul Ushul X/557).
Dalam kajian Sayyid Quthb rahimahullah, bahwasanya hubungan dengan Allah yang sekilas dan melepaskan diri dari cengkeraman daya tarik dunia yang sesaat mendapatkan balasan beragam kenikmatan, lalu ditambah lagi dengan ridha Allah yang menggelora dalam jiwa-jiwa mereka, dan itu mereka rasakan tanpa terputus, maka pastilah "itu adalah keberuntungan yang besar" (lihat Fi Zhilal Al Qur'an III/1676).
Bahkan, jika perlu surga dan beragam kenikmatannya itu ditulis dan dikemas dalam suatu poster yang ditempel di tempat yang menarik perhatian di rumah, sehingga semua anggota keluarga selalu mengingatnya dan termotivasi untuk menjadi penghuninya.
Maka, hal ini secara tidak langsung dapat menjadi motivator dan stimulan dalam memproduksi banyak kebajikan, sehingga benar-benar tercipta "Baiti Jannati, rumahku adalah surgaku". 
Tuk’e Elmu : Ummi Maosaji

Jumat, Desember 28, 2012

Doa Untuk Istri Tercinta


S3REAL - Sudah menjadi rahasia umum bahwa Aisyah binti Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘ahuma adalah istri yang paling dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam.
Meski demikian, saat beliau shallallahu ‘alaihi wa salam wafat, beliau tidak mewariskan harta kekayaan kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha. Beliau hanya mewariskan ilmu syariat dan akhlak pergaulan yang sangat berkesan bagi Aisyah radhiyallahu ‘anha.
Di antara ilmu yang beliau wariskan kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha adalah doa-doa penting untuk kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Dalam sebuah hadits, Aisyah radhiyallahu ‘anha bercerita bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam mengajarkan kepadanya doa berikut ini:

اللهُÙ…َّ Ø¥ِÙ†ِّÙŠ Ø£َسْØ£َÙ„ُÙƒَ Ù…ِÙ†َ الْØ®َÙŠْرِ ÙƒُÙ„ِّÙ‡ِ عَاجِÙ„ِÙ‡ِ ÙˆَآجِÙ„ِÙ‡ِ، Ù…َا عَÙ„ِÙ…ْتُ Ù…ِÙ†ْÙ‡ُ ÙˆَÙ…َا Ù„َÙ…ْ Ø£َعْÙ„َÙ…ْ، ÙˆَØ£َعُوذُ بِÙƒَ Ù…ِÙ†َ الشَّرِّ ÙƒُÙ„ِّÙ‡ِ، عَاجِÙ„ِÙ‡ِ ÙˆَØ¢َجِÙ„ِÙ‡ِ Ù…َا عَÙ„ِÙ…ْتُ Ù…ِÙ†ْÙ‡ُ، ÙˆَÙ…َا Ù„َÙ…ْ Ø£َعْÙ„َÙ…ْ، اللهُÙ…َّ Ø¥ِÙ†ِّÙŠ Ø£َسْØ£َÙ„ُÙƒَ Ù…ِÙ†ْ Ø®َÙŠْرِ Ù…َا سَØ£َÙ„َÙƒَ عَبْدُÙƒَ ÙˆَÙ†َبِÙŠُّÙƒَ Ù…ُØ­َÙ…َّدٌ صَÙ„َّÙ‰ اللهُ عَÙ„َÙŠْÙ‡ِ ÙˆَسَÙ„َّÙ…َ، ÙˆَØ£َعُوذُ بِÙƒَ Ù…ِÙ†ْ Ø´َرِّ Ù…َا عَاذَ Ù…ِÙ†ْÙ‡ُ عَبْدُÙƒَ ÙˆَÙ†َبِÙŠُّÙƒَ، اللهُÙ…َّ Ø¥ِÙ†ِّÙŠ Ø£َسْØ£َÙ„ُÙƒَ الْجَÙ†َّØ©َ ÙˆَÙ…َا Ù‚َرَّبَ Ø¥ِÙ„َÙŠْÙ‡َا Ù…ِÙ†ْ Ù‚َÙˆْÙ„ٍ Ø£َÙˆْ عَÙ…َÙ„ٍ، ÙˆَØ£َعُوذُ بِÙƒَ Ù…ِÙ†َ النَّارِ ÙˆَÙ…َا Ù‚َرَّبَ Ø¥ِÙ„َÙŠْÙ‡َا Ù…ِÙ†ْ Ù‚َÙˆْÙ„ٍ Ø£َÙˆْ عَÙ…َÙ„ٍ، ÙˆَØ£َسْØ£َÙ„ُÙƒَ Ø£َÙ†ْ تَجْعَÙ„َ ÙƒُÙ„َّ Ù‚َضَاءٍ تَÙ‚ْضِيهِ Ù„ِÙŠ Ø®َÙŠْرًا ”
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu seluruh kebaikan, yang disegerakan (di dunia) maupun yang diakhirkan (di akhirat), yang saya ketahui maupun yang tidak saya ketahui.
Dan aku berlindung kepada-Mu dari seluruh keburukan, yang disegerakan (di dunia) maupun yang diakhirkan (di akhirat), yang saya ketahui maupun yang tidak saya ketahui.
Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dari kebaikan-kebaikan yang pernah dimintakan oleh hamba-Mu dan nabi-Mu Muhammad shallallahu ‘alaihi wa salam kepada-Mu.
Dan aku berlindung kepada-Mu dari keburukan-keburukan yang hamba-Mu dan nabi-Mu Muhammad shallallahu ‘alaihi wa salam berlindung kepada-Mu darinya.
Ya Allah, aku memohon kepada-Mu surga dan segala hal yang mendekatkan kepadanya, baik berupa ucapan maupun perbuatan.
Dan aku berlindung kepada-Mu dari neraka dan segala hal yang mendekatkan kepadanya, baik berupa ucapan maupun perbuatan.
Dan aku memohon kepada-Mu agar menjadikan setiap ketetapan (takdir) yang Engkau tetapkan untukku sebagai (takdir) kebaikan.”

(HR. Ahmad no. 25019, Ibnu Majah no. 3846, Ibnu Abi Syaibah no. 29345, Ibnu Hibban no. 869, Abu Ya’la no. 4473 dan Ath-Thahawi dalam Syarh Musykil Al-Atsar no. 6026. Hadits shahih)

Sebuah doa yang sangat indah dan memuat semua hal yang kita butuhkan dalam kehidupan kita, di dunia maupun di akhirat kelak.

Jika kita seorang suami, sudah selayaknya kita ajarkan doa ini kepada istri kita.
Jika kita seorang istri, sudah selayaknya kita ajarkan doa ini kepada suami kita.
Jika kita seorang orang tua, sudah selayaknya kita ajarkan doa ini kepada anak kita.
Jika kita seorang anak, sudah selayaknya kita ajarkan doa ini kepada orang tua kita.
Jika kita seorang guru, sudah selayaknya kita ajarkan doa ini kepada murid kita.
Jika kita seorang muslim, sudah selayaknya kita ajarkan doa ini kepada sesama muslim

 Tuk’e Elmu & Foto : Kawasan Muslimah

Empat Pilar Kebahagiaan Rumah Tangga


“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.”
(QS Al ‘Ashr [103]: 1-3)

S3REAL - Surat Al-‘Ashr yang sangat singkat ini memuat suatu hal yang amat besar. Tiga ayat pendek tersebut mendeskripsikan sistem yang integral dan universal bagi kehidupan umat manusia sebagaimana yang diinginkan oleh Islam. Sekaligus, menawarkan empat pilar kebahagiaan duniawi dan ukhrawi bagi individu dan keluarga, dalam kalimat-kalimat singkat yang mudah dimengerti.
Ayat-ayatnya memang singkat, namun begitu mendalam dan luas kandungannya. Sampai-sampai Imam Asy Syafi’i rahimahullah pernah berkata, “Seandainya manusia benar-benar mentadabburi surat ini, niscaya cukuplah ia menjamin kebahagiaan mereka” (Tafsir Ibnu Katsir IV/582). Dalam riwayat lain beliau berkata, “Seandainya tidak diturunkan surat lain selain surat Al ‘Ashr ini, niscaya cukup bagi manusia” (Tafsir Ruuhu’l Ma’aani XXX/227).
Dalam kajian Sayyid Quthb rahimahullah, surat yang termasuk golongan surat makkiyah ini memberi pemahaman kepada kita bahwa sepanjang sejarah umat manusia di mana dan kapan saja hanya ada satu sistem (manhaj) yang menguntungkan dan membahagiakan, yang memberikan kemenangan dan keselamatan. Yaitu sistem yang batasan-batasan dan rambu-rambunya digambarkan secara jelas dalam surat ini. Berarti, sistem selain ini akan menjerumuskan ke dalam kehancuran, kesengsaraan dan kerugiaan pada semua aspek kehidupan di dunia dan di akhirat (Fii Zhilal Al-Qur’an VI/3964), tak terkecuali aspek rumah tangga.
Keempat pilar kebahagiaan rumah tangga yang ditawarkan Allah lewat surat Al-'Ashr adalah :

1.             Iman
Iman adalah mutiara yang menambah bobot nilai dan harga serta meninggikan derajat seseorang dan keluarga di sisi Allah swt.
Sebesar apa pun kekayaan seseorang, setinggi apa pun jabatan seseorang dalam suatu institusi/pemerintahan, sehebat apa pun kejeniusan seseorang bila tanpa iman, maka di sisi Allah ia sama sekali tidak bernilai meskipun seluruh dunia mengagumi dan mengagungkannya.

“ Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu “
(QS Al Hujuraat [49]: 13)

Maka, rumah tangga terbaik dalam perspektif Al-Qur'an adalah rumah tangga yang dibangun atas dasar iman. Rumah tangga yang senantiasa menghadirkan suasana dan nuansa keimanan dalam seluruh aktivitasnya.
Dan Allah hanya akan menganugerahkan kehidupan yang bahagia kepada hamba-hamba-Nya yang mendasari seluruh amal dan kegiatannya dengan iman,  sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya ;

“Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (bahagia) dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”
(QS An-Nahl [16]: 97).

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya
(QS Al-A’raaf [7]: 96)

Tentu saja, keimanan yang kita maksud di sini bukanlah keimanan yang parsial, sebatas di bibir saja seperti keimanan ala orang munafik

Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian," pada hal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman.
( QS Al-Baqarah [2]: 8 )

Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: "Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah." Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta[1] Mereka itu menjadikan sumpah mereka sebagai perisai[1476], lalu mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Sesungguhnya amat buruklah apa yang telah mereka kerjakan[2] Yang demikian itu adalah karena bahwa sesungguhnya mereka telah beriman, kemudian menjadi kafir (lagi) lalu hati mereka dikunci mati; karena itu mereka tidak dapat mengerti.[3]
(QS Al-Munaafiquun [63]: 1-3)

[1476]. Mereka bersumpah bahwa mereka beriman adalah untuk menjaga harta mereka supaya jangan dibunuh atau ditawan atau dirampas hartanya.

Atau keimanan sekadar keyakinan dalam hati sebagaimana dinyatakan Iblis yang telah meyakini Allah sebagai sang Pencipta (Lihat QS Shaad [38]: 76). Melainkan keimanan yang utuh dan menyeluruh dengan segala dimensinya, sehingga mampu menghadirkan kekuatan hubungan dengan Allah di mana, kapan saja dan dalam kondisi apa pun.

2.             Amal shalih
Keimanan yang sejati berbuah amal shalih. Amal shalih bisa berbentuk ibadah mahdhah dan ghairu mahdhah. Karenanya, ulama tafsir mengartikan amal shalih yaitu melaksanakan semua kewajiban yang diperintah syariat (agama) dan meninggalkan semua bentuk maksiat serta melakukan berbagai macam kebajikan (At Tafsir Al Munir, Az Zuhaili XXX/395).
Maka, beragam aktivitas keluarga yang diniatkan untuk mendekatkan diri dengan anggota keluarga karena Allah, maka aktivitas itu termasuk amal shalih. Rekreasi, silaturrahim, olah raga keluarga, dan lain-lain, semuanya bisa masuk dalam kategori amal shalih jika dapat meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan kepada Allah.

3.             Proaktif mendakwahkan Islam (At Tawaashi bil Haq)
Kedua pilar di atas (iman dan amal shalih) hanya mengantarkan kepada shalih untuk diri sendiri (Shaalihun Li Nafsihi) yang pada gilirannya tidak menjamin kebahagiaan di dunia dan akhirat. Sebab, Allah tidak menciptakan hanya seorang manusia, melainkan komunitas manusia yang terdiri dari laki-laki dan perempuan dan menjadikan mereka berbangsa-bangsa dan bersuku-suku (QS Al-Hujuraat [49]: 13).
Karena itu kesempurnaan seorang Muslim dan kebahagiaannya sangat tergantung sejauh mana ia mampu menularkan keshalihan individual menjadi keshalihan sosial. Shalat kita misalnya, baru akan sempurna manakala shalat ini mampu membuahkan dampak sosial yang positif bagi kehidupan kita (baca: Naafi’un Lighairihi, bermanfaat bagi orang lain). Dalam bahasa Al-Qur’an

Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan
(QS Al-‘Ankabuut [29]: 45).

Untuk itulah Rasulullah saw menegaskan dalam haditsnya, bahwa manusia yang terbaik di jagat raya ini adalah yang bermanfaat untuk orang lain (Khairunnaas anfa’uhum linnaas).
Beliau saw juga pernah ditanya, “Islam apa yang terbaik?” Beliau menjawab, “Yaitu orang Islam yang orang lain selamat (aman) dari (gangguan) lisan dan tangannya” (HR Bukhari).
Maka, membudayakan saling menasihati dalam rumah tangga adalah pilar kebahagiaan suatu keluarga. Sebab, membiarkan keburukan, kemaksiatan dan pelanggaran terhadap ajaran Islam merajalela dalam rumah tangga kita, maka berarti sama saja kita membiarkan munculnya banyak lubang dalam 'kapal'. Akhirnya, cepat atau lambat akan menenggelamkan kita dan seluruh anggota keluarga besar kita. Karenanya, proaktif mendakwahkan atau menularkan kebaikan kepada sesama anggota keluarga akan mengantarkan keluarga kepada kebahagiaan di dunia dan akhirat. 

4.             Sabar
Mempraktikkan ketiga pilar di atas dalam kehidupan rumah tangga bukan perkara yang mudah. Pasti, dan tidak bisa tidak, akan menghadapi berbagai macam ujian dan cobaan yang bisa datang dalam berbagai bentuk. Bahkan terkadang pertentangan dan perlawanan sengit justru muncul dari keluarga. Bukankah Nabi Muhammad ketika mendakwahkan Islam dan menyebarkan kebaikan, juga dihadang dan dihalang-halangi Abu Lahab, yang nota bene adalah paman beliau saw.
Tribulasi dalam mewujudkan iman, amal shalih dan dakwah adalah sebuah keniscayaan karena ia sunnatullah dalam ber-Islam.

“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta”
(QS Al ‘Ankabuut [29]: 2-3)

Mengharapkan kebahagiaan rumah tangga tanpa kesabaran, sama saja mengharapkan hadirnya gagak putih. Mustahil. Wallaahu A’lam.

Menegakkan Pilar dengan Berjamaah

Hal yang menarik, keempat pilar tersebut diredaksikan oleh Allah dalam bentuk jama’. Ini memberikan pemahaman pentingnya persamaan dan kebersamaan (berjama'ah) dalam meraih kebahagiaan dan membebaskan dari kerugian dan kekalahan. Termasuk di sini, persamaan visi dan misi semua anggota keluarga dan kebersamaan dalam menerapkannya
Inilah barangkali rahasianya, mengapa para sahabat jika bertemu dengan kawannya, mereka tidak berpisah hingga salah seorang di antara mereka membacakan surat Al ‘Ashr ini kepada kawannya, kemudian mereka mengucapkan salam (HR Ath Thabrani dari Ubaidillah bin Hafsh seperti dalam At Tafsir Al Munir XXX/391).

Tuk’e Elmu : Ummi Maosaji