Sang Nabi kekasih Allah itu termenung. Betapa
berat perintah Sang Khalik.
Bagaimana mungkin ia yang dulu meninggalkan bayinya di
padang tandus dan terpisah berbilang tahun, kini harus menyampaikan berita pilu
lagi, yaitu menyembelih anaknya tersebut
Namun Ibrahim as tetap menyampaikan perintah Allah kepada
anaknya, Ismail as.
“... (Ibrahim) berkata, ‘Wahai anakku! Sesungguhnya aku
bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu.' Dia
(Ismail) menjawab: 'Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan Allah
kepadamu. Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar,'”
(QS As-Shaffat [37]: 102).
Saudaraku…!! kisah dalam surat As-Shaffat tersebut, sungguh
memiliki hikmah luar biasa. Lihatlah bagaimana seorang ayah yang shalih
memiliki hati yang begitu kuat terhubung dengan Allah swt. Ketundukan ini
melahirkan kesadaran bahwa apa pun yang ia miliki dan ia cintai sesungguhnya
hanya titipan Allah swt. Sikap itu melahirkan kesadaran bahwa semua milik Allah
sehingga menjelma menjadi sifat sabar seorang Ibrahim.
Dengan sifat sabarnya, Ibrahim mampu mengkomunikasikan
perintah Allah yang begitu berat kepada anaknya. Dan hati yang lembut itu
mengalirkan kesabaran kepada sang anak yang memberikan jawaban indah kepada
ayahnya “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan Allah kepadamu.
Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”
Subhanallah, sebuah jawaban yang mencerminkan karakter dan ihtirom
anak yang luar biasa. Ia memulai jawabannya dengan kata-kata lembut “Wahai
ayahku”. Jawaban yang mencerminkan penghormatan yang sempurna dari seorang
anak kepada orangtuanya.
Ismail juga memberikan cermin kepada kita bagaimana seorang
anak mendapatkan pendidikan pertama dengan pendidikan akidah “Lakukanlah apa
yang diperintahkan Allah kepadamu”. Tak akan ada jawaban seperti ini dari
seorang anak yang tidak mengenal tauhid. Tauhid inilah yang menjadi fondasi
bagi Ismail untuk memiliki akhlak terpuji lainnya, yaitu rendah hati dan
santun.
“Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang
yang sabar”. Ia tak mengklaim dirinya anak yang sabar, melainkan dengan
seizin Allah swt. Ia pun tak mengklaim dirinya orang yang paling sabar karena
nyatanya ia mengatakan “Aku termasuk orang-orang yang sabar”.
Saudaraku, kesabaran yang dimiliki Ibrahim dan Ismail adalah
kesabaran fenomenal. Tidak mengherankan bila Allah mengabadikan ketaatan mereka
dengan adanya syariat qurban. Qurban yang dilakukan setiap tahun menjadi
pengingat bagi kita akan pelajaran kesabaran dari Ibrahim dan Ismail as.
Pelajaran kesabaran yang tak berujung, membutuhkan banyak pengorbanan, dan
tiada henti dalam berbagai situasi. Maka, kita perlu mengetahui, para ulama
mengklasifikasikan sabar menjadi:
Sabar dalam melakukan ketaatan kepada Allah. Sabar dalam
menjauhi maksiat kepada Allah. Sabar dalam menghadapi ujian dan cobaan
dari Allah.
Semoga kita mampu untuk senantiasa bersabar dan menjadi
bagian orang-orang yang sabar. Amin.
Tuk’e Elmu : Ummi
Maosaji